MUDIK ITU BOLEH, ASAL MUDIK KE GUSTI ALLAH

Sumber Gambar: google.com

Kecewa, satu kata yang mungkin dapat menggambarkan suasana hati saya dan mungkin para perantau lain saat ini. Tentu saja tidak hanya kecewa tetapi disusul kata lain seperti sedih dan dongkol. Maklum tahun ini adalah tahun kedua Pemerintah mengeluarkan larangan mudik saat Lebaran karena pandemi Covid-19.

Mudik bagi kami para perantau bukan hanya sekadar momen pulang kampung demi melepas rindu atau alih-alih hanya sebagai ajang pamer kesuksesan di perantauan. Lebih dari itu, mudik adalah momentum untuk berkontemplasi dan merenung siapa diri kita, dari mana asal kita dan mengingat kembali akar kita untuk kemudian dapat menentukan kemana hidup kita akan menuju.

Ada suatu nasihat yang kira-kira cukup penting terkait mengenali diri sendiri ini. Setiap manusia memiliki keunikan masing-masing yang berbeda dengan manusia yang lain. Mengenali diri sendiri dan mengenali asal-usul diri dapat membantu kemana kita akan menuju.

Apabila diibaratkan hewan. Jika kita terlahir sebagai “ikan” mengapa kita harus susah-susah hidup untuk hidup di darat dan mencoba mengaum selayaknya “harimau”. Begitu juga apabila kita terlahir sebagai seorang “Harimau” mengapa kita harus sibuk-sibuk mencoba hidup di dalam air. Tidak ada yang lebih baik antara harimau dan ikan, semuanya baik, memiliki garis hidup dan tujuan masing-masing yang tidak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lain.

Dari itu semua, mudik yang sejati sebenarnya bukan mudik sebagaimana yang kita pahami sebagai seremoni pulang kampung. Mudik yang sejati adalah mudik kepada Allah SWT. Mengutip pendapat budayawan Emha Ainun Nadjib, “Setiap manusia pasti akan kembali dari setiap perginya. Pulang paling dekat adalah ke leluhurnya di kampung halaman, pulang yang lebih jauh adalah ke sejarah yang lebih jauh, dan pulang yang paling sejati adalah kepada Allah. Mudik adalah kesadaran untuk tauhid.”

Kita semua, terutama yang Muslim pasti sudah familiar dengan kalimat “Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un” (Sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nya lah kita kembali) yang biasanya diucapkan apabila mendengar berita duka. Kalimat ini sebenarnya jika dipahami lebih dalam, bermakna lebih dari sekadar ucapan duka, namun sebagai ekspresi dan kesadaran kepasrahan diri bahwa kita adalah milik Tuhan dan kepada-Nya kita akan kembali. Bukankah kalimat itu menjadi validasi bahwa mudik yang sejati adalah mudik kepada Allah SWT.

Mudik kepada Tuhan apakah hanya dimaknai ketika meninggal dunia? Tentu tidak. Mudik kepada Tuhan seharusnya bisa dilakukan setiap waktu hidup kita. Dalam bahasa sederhananya adalah berpasrah dan bertawakal kepada Tuhan, mengembalikan semuanya kepada pemilik kehidupan. Lalu, selama hidup sudah berapa kali kita sudah mencoba melakukan jenis mudik yang satu ini?

Soal pasrah dan sikap berserah diri kepada Tuhan. Leluhur kita sebenarnya telah menitipkan filosofi hidup tersebut melalui permainan anak-anak yang pastinya kita semua sangat familiar, yaitu, “Hompimpa Alaium Gambreng” .

Hompimpa Alaium Gambreng ini adalah suatu permainan untuk menentukan sesuatu, entah itu suatu kelompok, peran atau posisi. Beberapa bocah yang bermain ini biasanya melingkar sambil menggoyangkan telapak tangannya sambil berkata “Hompimpa Alaihum Gambreng” sebelum akhirnya mengeluarkan posisi telapak tangan terbuka atau tertutup.

Konon, Hompimpa Alaium Gambreng dalam bahasa aslinya yaitu sanksekerta adalah “Hongpimpa alaihong gambreng.”. yang diyakini bermaknya “dari Tuhan kembali ke Tuhan” dan Gambreng sendiri kira-kira bermakna “Ayo bermain!!”. Hal ini juga baru saya tahu setelah melihat video Youtube penjelasan Zaini Alif di TedX Jakarta, kira-kira judul videonya, “The Secret Meaning of “Hom Pim Pa”.

Secara tidak sadar, para bocah dan kita semua yang pernah memainkan Hompimpa Alaium Gambreng ternyata telah berpasrah kepada Tuhan untuk menentukan peran atau posisi dalam suatu permainan. Mungkin begitu juga dalam hidup, sekali waktu kita memang perlu “berhompimpa”, berpasrah pada Tuhan untuk menentukan posisi dan peran kita dalam kehidupan, biar selanjutnya Tuhan yang menentukan.

Dapat kita lihat bahwa begitu dalamnya makna mudik ini. Perlu untuk diingat, Pemerintah memang melarang kita untuk mudik pulang ke kampung halaman. Tapi, Pemerintah tidak akan bisa melarang kita untuk mudik yang sebenar-benarnya mudik yaitu mudik ke hadirat Tuhan, mudik untuk berpasrah dan bertawakal kepadaNya.

Tinggalkan komentar